Sumenep dengan Kerajaan Jawa Hindu/ Budha dan Islam
Daerah Sumenep dibuka pertama kali sebagai kabupaten oleh Ario Adikoro Wiraraja atau Banyak Wide yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang dibentuk dan diangkat oleh Raja Singasari yang dikenal dengan Raja Kertanegara. Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari. Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Banyak Wide dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa. Bupati Sumenep ke 13 bernama Joko Tole (1415-1406) mulai memeluk agama Islam yang disiarkan dari Giri Kedaton Gresik. Sejak saat itu agama Hindu dan Budha berangsur-angsur surut dan digantikan oleh agama Islam yang memang sudah mulai tersebar luas di kawasan nusantara.
Bupati ke 16 adalah R.T Kanduruan, putra Raden Patah, Raja Islam Demak. Sedangkan Bupati Sumenep ke 21 yakni Pangeran Anggadipa adalah putra Jepara, Jawa Tengah, dengan demikian maka kiblat kekuasaan dan kebudayaan Sumenep kini beralih ke Jawa Tengah sesuai dengan perpindahan kekuasaan saat itu. Maka terjadilah akulturasi kebudayaan Madura dengan kebudayaan Jawa. Diperkirakan ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai Utara Jawa ikut tersebar ke Sumenep sehingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun dalam bentuk dan corak yang spesifik menggambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan lugas, serta warnanya yang mencolok.
Sumenep dengan Imigran Cina
Kontak antara masyarakat Madura dengan orang-orang Cina diperkirakan berawal pada saat datangnya tentara tartar dari Cina atau Monggolia di Mojopahit (+ tahun 1229) yang datang untuk memerangi Kertanegara. Raden Wijaya mulai bersahabat dengan pasukan Tartar, namun demikian akhirnya pasukan Tartar inipun ditumpas dan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya Mojopahit. Kontak yang kedua terjadi pada masa perang Joko Tole melawan Dempo Awang, abad ke 15. Kontak yang ketiga diper-kirakan terjadi segera setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad ke 18. Kontak yang keempat diperkirakan terjadi pada masa pemberontakan Cina, orang-orang Cina di Batavia menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni. Hal ini terjadi pada abad ke 18. Di Sumenep banyak kedatangan orang-orang Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di
Sumenep dengan Kolonial Belanda
Menurut buku "Tjareta Negraha Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepeninggal Raden Bugan, Kompeni ikut campur menentukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemudian menentukan Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh Kompeni di Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan Kompeni, bahwa Kompeni mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih dengan Sunan Mas (Amangkurat III). Sebaliknya Pangeran Puger berkewajiban menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada Kompeni. Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan Kompeni, dimana pada saat itu masa pemerintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada pada rakyat yang sudah benci kepada Kompeni. Ia berjuang dari Timur dengan menguasai Keraton Sumenep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1 tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian kawin dengan seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh Kompeni dinobatkan sebagai Bupati Sumenep.
Asirudin putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan kedua orangtuanya, oleh Kompeni dikabulkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung Ario Notokusumo atau kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Sumolo. Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781. Keraton Pejagalan (R. Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi, dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil kalau pada bangunan-bangunan tersebut akan ditemukan konsepsi arsitektur Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Pada saat itu Keraton Sumenep di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, kondisi ini sudah tentu secara politik menunjukkan adanya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang kerajaan, termasuk dalam bentuk arsitektur bangunan keraton yang menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat).
0 komentar:
Posting Komentar