Have an account?

Senin, 01 Februari 2010

HOME

Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah, Keraton Sumenep merupakan salah satu peninggalan bangunan di Madura.

Kraton Sumenep dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan demikian maka warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan Belanda. Kesemuanya itu tampak pada penampilan dan penyelesaian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan pengaruh Cina. Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya, merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda.

Manusia adalah makhluk sosial-budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari semua aspek belajar tersebut, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling men-dasar. Lewat komunikasi manusia dapat berhubungan dengan lingkungan, serta mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya disebuah kelompok sosial. Menurut Peterson, Jensen dan River, komunikasi adalah pembawa proses sosial, alat yang dimiliki manusia untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi kehidupan sosialnya.

Banyak pandangan tentang budaya. Dalam konteks luas budaya diartikan sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang lama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan oleh mereka yang lahir dan diasuh oleh budaya. Proses yang dilalui oleh individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) dimulai pada masa-masa awal kehidupan dengan cara proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya tersebut ditanamkan kedalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku. Proses yang terinternalisasikan ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian disebut Inkulturasi atau dalam istilah-istilah lain disebut pelaziman budaya dan pe-mrograman budaya. Hubungan antara budaya dan individu seperti yang terlihat pada proses inkulturasi, membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap imigran akan menyesuaikan dirinya dengan keadaan, dan kemudian belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi sejalan dengan berbagai transaksi yang dia lakukan dengan orang-orang lain. Demikian pula sebaliknya masyarakat pribumi secara perlahan akan mulai mengenal dan menerima berbagai masukan baru yang dibawa oleh si imigran. Perubahan perilaku tersebut juga terjadi ketika seorang imigran menyimpang dari pola-pola budaya lama yang dianutnya dan mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-pola baru dalam budaya pribumi.

Proses inkulturasi kedua yang terjadi pada imigran ini biasanya disebut akulturasi (accul-turation). Akulturasi merupakan proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi. Menurut Koentjaraningrat proses akulturasi yang utama adalah unsur diterimanya kebudayaan asing yang diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan lenyapnya kepribadian kebudayaan asal. Dengan demikian pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tetapi juga sistem sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Namun dampak budaya imigran atas budaya pribumi relatif tidak berarti dibandingkan dengan dampak budaya pribumi atas budaya imigran. Faktor yang berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran adalah perbedaan antara jumlah individu dalam lingkungan baru yang berbagi kebudayaan asli imigran dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat pribumi mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya dari imigran. Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah. Pada kajian ini penulis membahas salah satu fenomena yang menarik sebagai bukti komunikasi tersebut yang sangat berperan dalam proses akulturasi budaya. Tujuan dari penulisan ini adalah mempaparkan adanya akulturasi budaya Madura, Cina dan Belanda pada karya arsitektur-interior Keraton Sumenep yang sampai sekarang masih terpelihara secara baik.

VARIABEL-VARIABEL KOMUNIKASI DALAM AKULTURASI BUDAYA

Proses komunikasi dalam akulturasi budaya, dipengaruhi oleh banyak varibel-variabel komunikasi. Salah satu kerangka konsep yang paling komprehensip dan bermanfaat dalam menganalisa akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben. Dalam perspektif sistem, ada 3 unsur dasar sistem komunikasi manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui dua proses yang saling berhubungan, yaitu komunikasi personal, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi. Pertama, komunikasi personal, adalah proses mental yang dilakukan manusia untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosial budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon lingkungan. Dalam kontek akulturasi, komunikasi personal seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respon kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan konsisten dengan budaya pribumi. Salah satu variabel komunikasi personal terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam hal ini orang-orang Cina dan Belanda dalam mempersepsi lingkungan pribumi (budaya Madura). Variabel lain komunikasi personal adalah citra diri imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Aspek motivasi akulturasi seorang imigran terbukti fungsional dalam memudahkan proses akulturasi. Semakin tinggi motivasi dari seorang imigran untuk melakukan penyesuaian dengan budaya setempat, maka semakin cepat pula proses terjadinya akulturasi budaya. Kedua, komunikasi sosial, berkaitan dengan komunikasi personal ketika dua atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur perasaan-perasaan, pikiran dan perilaku-perilaku antara yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi antar pesonal seorang imigran dapat diamati melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antar personal dengan anggota-anggota masyarakat pribumi. Derajat keintiman dalam hubungan-hubungan individu telah dikembangkan dengan anggota masyarakat pribumi, merupakan salah satu indikator penting tentang kecakapan komunikasi pribumi yang telah diperolehnya. Komunikasi yang melibatkan hubungan antar personal memberi imigran maupun umpan balik yang serem-pak, yang secara langsung berfungsi sebagai kontrol perilaku-perilaku komunikasi imigran. Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi personal dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budaya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antar budaya dan memudahkan akulturasinya. Pada akhirnya masyarakat pribumilah yang memberikan kebebasan atau keluwesan kepada imigran minoritas untuk menyimpang dari pola-pola budaya masyarakat pribumi yang dominan dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga etnik.




game




lagu




software




e-book




Download

Pada halaman ini anda dapat mengunggah (mendownload) file, lagu, game, dan software lainnya

cara:

klik pada tab e-book(untuk dawnload buku)
klik pada tab software(untuk dawnload macam-macam software)
pada tab sofware anda dapat memilih lagu, game dan aplikasi

setelah memilih tab lagu, game, atau aplikasi. pilih lagu, game atau aplikasi yang anda mau

setelah itu download deh.........
he.....he.....he.....he.....
bercanda!!!!!

ga' ko', tab ini cuma sekedar link ke blog lain ko'


Asta Tinggi

Asta Tiggi teletak di Kabupaten Sumenep, di sebuah bukit, Asta Tinggi memang diperuntukkan sebagai komplek makam bagi Raja-raha dan keturunannya. Jadi yang dimakamkan di Asta Tinggi ini adalah orang-orang yang memiliki sertifikat sebagai keturunan Raja-raja Sumenep.
Asta Tinggi (asta=makam,peristirahatan), terdiri dari tiga komplek makam. Yang pertama adalah komplek makam bawah, yaitu komplek makam yang diperuntukkan sebagai makam para Raden rendahan. Orang-orang yang “hanya” memiliki gelar “Raden” tanpa embel-embel lainnya, berhak dimakamkan di sini.

Yang Kedua adalah komplek makam luar, untuk Raden menengah, -aku gak tau Raden apaan-, yang jelas mereka bukan keturunan langsung dari raja Sumenep.

Aku gak tahu kenapa, sepertinya komplek makam ini adalah makam tua yang gak terurus. Apa karena sudah gak ada lagi yang berhak di makamkan di sini, ya?

Dan yang terakhir adalah komplek makam dalam, tempat keturunan langsung raja dimakamkan.

Yang berhak dimakamkan di sini adalah keturunan langsung dari Raja-raja Sumenep. Biasanya gelar mereka adalah Raden Panji, Raden Bagus, dan Raden Aju (Raden Ayu, di Sumenep gak ada gelar Raden Ajeng, adanya Raden Aju yang dibaca Dinaju).

Banyak yang bisa kita pelajari di Asta Tinggi ini, misalnya sejarah Raja-raja Sumenep. Karena di komplek makam ini terdapat makam Raja Sumenep yang terkenal yaitu Pangeran Jimad, Bindara Saod, dan Pangeran Panji Pulang Jiwa.


Wisata Slopeng

Dengan mayoritas warga Madura yang merantau ke luar pulau, ditambah lokasinya yang benar-benar sangat jauh jika kita mengukurnya dari Surabaya, maka bisa dibayangkan minimnya pengunjung obyek wisata yang satu ini. Dari gelagatnya, pemkot setempat pada awalnya melihat potensi wisata yang besar pada obyek wisata yang satu ini, sehingga terlihat bangunan-bangunan pendukung yang lumayan bagus, walaupun saat ini sudah tampak kerusakan disana-sini karena tidak terawat. Lokasi yang sangat jauh ini lah yang membuat harapan pemkot untuk meraup ABPD berlimpah dari obyek wisata ini hanya tinggal impian. Dari Surabaya, dengan sudah adanya jembatan Suramadu-pun, lokasi pantai Slopeng ini bisa dibilang sangat jauh untuk dijangkau. Sekitar 160-180km dijangkau dari sisi manapun. Lokasinya berada dipesisir pantai sebelah utara kota Sumenep.


Tapi justru dengan kondisi seperti inilah sangat menguntungkan untuk penikmat alam seperti kami ini. Kecantikan pantai ini sama sekali belum terusik. Dia secantik kembang desa yang belum terjamah oleh rusaknya kehidupan kota. Karena, bagi saya pribadi, seindah apapun suatu pantai, jika ternyata harus berakhir seperti pantai Kuta di Bali, dimana ratusan pengunjung kleleran disana-sini, dan sampah dimana-mana, maka dimata saya itu menjadi pantai terjelek.

Pantai Slopeng ini memiliki pasir putih (tentu saja itu artinya berwarna kuning) yang semi padat, dimana di belakangnya masih dikelilingi oleh bukit kecil batuan khas pulau madura. Pepohonan semacam palem (saya tidak tahu namanya) menghiasi pesisir pantainya. Lautnya berwarna hijau kebiru-biruan dengan disemarakkan oleh puluhan perahu nelayan yang melempar sauh ditengah sana membuat suasana semakin indah. Garis pantainya sangat panjang sebenarnya, sepanjang lintasan didaerah ini memiliki kondisi pantai yang sama indahnya. Namun untuk yang dikelola ini garis pantainya sekitar 1 km. Dan suasana semakin menyentuh kalbu disaat matahari sore sudah hampir merangkul garis cakrawala. Sayang sekali kami benar-benar dikejar waktu saat ini, sehingga terpaksa harus melewatkan moment yang indah ini.

Disabtu sore ini, penggunjung pantai hanya ada 4-5 pasang muda mudi dan 1 rombongan keluarga saja, ditambah sepasang muda-muda (bukan muda-mudi) yaitu kami tentu saja. Mau teriak teriak dipantai silakan saja. Mungkin yang terganggu hanya pasangan muda-mudi yang sedang saling melancarkan rayuan gombalnya dipinggir sana. Kami benar-benar bisa menikmati keindahan alam pantai ini. Untuk ongkos masuk sepertinya gratis, tidak ada loket, dan kendaraan bisa diparkir dimanapun sesuka hati. Namun penjaga obyek ini sepertinya melihat ada pengunjung yang tidak biasa pada diri kami, maka kami dikenakan biaya parkir Rp.2.000 dan tarif masuk Rp.1.000 untuk satu orang. Tidak ada masalah untuk tarif semurah itu kan.


Periodesasi

Sumenep dengan Kerajaan Jawa Hindu/ Budha dan Islam

Daerah Sumenep dibuka pertama kali sebagai kabupaten oleh Ario Adikoro Wiraraja atau Banyak Wide yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang dibentuk dan diangkat oleh Raja Singasari yang dikenal dengan Raja Kertanegara. Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari. Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Banyak Wide dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa. Bupati Sumenep ke 13 bernama Joko Tole (1415-1406) mulai memeluk agama Islam yang disiarkan dari Giri Kedaton Gresik. Sejak saat itu agama Hindu dan Budha berangsur-angsur surut dan digantikan oleh agama Islam yang memang sudah mulai tersebar luas di kawasan nusantara.

Bupati ke 16 adalah R.T Kanduruan, putra Raden Patah, Raja Islam Demak. Sedangkan Bupati Sumenep ke 21 yakni Pangeran Anggadipa adalah putra Jepara, Jawa Tengah, dengan demikian maka kiblat kekuasaan dan kebudayaan Sumenep kini beralih ke Jawa Tengah sesuai dengan perpindahan kekuasaan saat itu. Maka terjadilah akulturasi kebudayaan Madura dengan kebudayaan Jawa. Diperkirakan ukiran kayu Jepara dan kesenian Islam yang tersebar di pantai Utara Jawa ikut tersebar ke Sumenep sehingga kini tampak pola ukiran Madura di Karduluk Sumenep yang ada kemiripan dengan pola ukiran Jepara. Bahkan sampai sekarang kerajinan ukiran tersebut masih tetap ada, dengan motif-motif yang ada kesamaan dengan motif-motif ukir di Jawa Tengah, meskipun dalam bentuk dan corak yang spesifik menggambarkan karakter Madura, yaitu bentuk pahatan yang tegas dan lugas, serta warnanya yang mencolok.

Sumenep dengan Imigran Cina

Kontak antara masyarakat Madura dengan orang-orang Cina diperkirakan berawal pada saat datangnya tentara tartar dari Cina atau Monggolia di Mojopahit (+ tahun 1229) yang datang untuk memerangi Kertanegara. Raden Wijaya mulai bersahabat dengan pasukan Tartar, namun demikian akhirnya pasukan Tartar inipun ditumpas dan dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya Mojopahit. Kontak yang kedua terjadi pada masa perang Joko Tole melawan Dempo Awang, abad ke 15. Kontak yang ketiga diper-kirakan terjadi segera setelah Belanda mulai menguasai Madura, abad ke 18. Kontak yang keempat diperkirakan terjadi pada masa pemberontakan Cina, orang-orang Cina di Batavia menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni. Hal ini terjadi pada abad ke 18. Di Sumenep banyak kedatangan orang-orang Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana. Lauw Pia Ngo terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan Panembahan Sumolo, abad ke 18. Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat baik, dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan sebagian ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh langgam Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok, mimbar dan mihrabnya diselesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para pangeran juga dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan Pangeran Patih, bentuk atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di Batavia dan kota-kota besar di Jawa. Selain bidang perdagangan dan bangunan, banyak orang-orang Cina di Sumenep yang mempunyai usaha pertukangan dan kerajinan, oleh karena itu langgam Cina banyak ditemukan pada ukir-ukiran di Sumenep.

Sumenep dengan Kolonial Belanda

Menurut buku "Tjareta Negraha Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepeninggal Raden Bugan, Kompeni ikut campur menentukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemudian menentukan Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh Kompeni di Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan Kompeni, bahwa Kompeni mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih dengan Sunan Mas (Amangkurat III). Sebaliknya Pangeran Puger berkewajiban menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada Kompeni. Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan Kompeni, dimana pada saat itu masa pemerintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada pada rakyat yang sudah benci kepada Kompeni. Ia berjuang dari Timur dengan menguasai Keraton Sumenep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1 tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian kawin dengan seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh Kompeni dinobatkan sebagai Bupati Sumenep.

Asirudin putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan kedua orangtuanya, oleh Kompeni dikabulkan dan diangkat menjadi Bupati Sumenep menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung Ario Notokusumo atau kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Sumolo. Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781. Keraton Pejagalan (R. Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi, dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil kalau pada bangunan-bangunan tersebut akan ditemukan konsepsi arsitektur Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Pada saat itu Keraton Sumenep di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, kondisi ini sudah tentu secara politik menunjukkan adanya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang kerajaan, termasuk dalam bentuk arsitektur bangunan keraton yang menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat).




Akulturasi

WUJUD KOMUNIKASI DAN AKULTURASI BUDAYA MADURA, CINA DAN BELANDA PADA ARSITEKTUR-INTERIOR KERATON SUMENEP

Sifat meniru bukanlah hal yang tidak mungkin dalam kebudayaan, akan tetapi merupakan sifat dari masyarakat dimanapun juga. Alfre Vierkandt seorang sosiolog terkenal berkata, "Die Nachamung ist eine der Wichtigsten Grundslagen fur die Erhaltung der Kultur", artinya peniruan adalah salah satu sendi yang penting dalam perkembangan kebudayaan. Pertemuan antara dua kebudayaan akan terjadi komunikasi pada kedua kebudaya tersebut, dan membawa akulturasi. Kebudayaan yang kuat dan atau dianggap baik biasanya mewarnai kebudayaan satunya. Bahkan dapat terjadi bahwa dua kebudayaan saling berakulturasi, saling mempengaruhi antara kebudayaan imigran dengan kebudayaan pribumi, yang pada akhirnya akan melahirkan suatu kebudayaan baru. Kebudayaan baru tersebut bisa berupa norma-norma, perilaku, bahasa maupun kesenian, diantaranya seni arsitektur. Adanya kebudayaan baru hasil akulturasi menunjukan peran komunikasi sangat vital dalam mendorong suatu proses akulturasi budaya. Proses komunikasi antara budaya Madura, Cina dan Belanda, yang telah berlangsung cukup lama, terjadi berbagai penyesuaian antara budaya satu dengan budaya lainnya sehingga menghasilkan akulturasi budaya baru. Proses akulturasi budaya di Madura dimulai ketika pengaruh kerajaan Hindu dan Islam dari Jawa masuk ke Madura yang akhirnya menjadi cikal bakal budaya Madura. Pada perkembangan berikutnya masuklah budaya Cina yang dibawa oleh para imigran dan menghasilkan budaya Madura ditambah Cina. Sedangkan proses akulturasi yang selanjutnya terjadi ketika kerajaan Sumenep berada di bawah kekuasaan Belanda, pada saat itulah terjadi akulturasi antara budaya Madura ditambah Cina dengan budaya kolonial (Barat), sehingga terlahir budaya baru yang sekarang terlihat pada bentuk arsitektur-interior keraton Sumenep.

1. Bentuk Asli Arsitektur Madura

Seperti telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa sejarah Madura dimulai pada masa Hindu/Islam di Jawa masuk ke Madura. Pengaruh Jawa tersebut sudah barang tentu menyebabkan bentuk-bentuk arsitektur-interior di Madura banyak diwarnai bentuk arsitektur-interior Jawa. Bentuk arsitektur rumah Jawa tersebut sampai sekarang masih dapat ditemukan pada sebagian rumah penduduk daerah pinggiran. Bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa tersebut antara lain berupa:
a. Rumah tipe Trompesan yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi cukit atau teritis di kedua sisinya. Tipe rumah tersebut banyak terdapat di daerah Situbondo dan Bondowoso.

Gambar 1. Rumah tipe Trompesan

b. Rumah tipe Bangsal,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Joglo yang sisi kiri dan kanannya dipotong. Di daerah Pinggir Papas Kalianget terdapat gugus bangun tipe ini yang puncaknya dihiasi dengan bentuk kapal atau ular naga.

c. Bentuk rumah tipe Pegun atau Potongan,
yaitu rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe Limasan Pacul-gowang, sekarang masih banyak terdapat pada rumah tinggal di Jawa.
Gambar 3. Rumah tipe Pegun

d. Bentuk rumah tipe Surabayan,
yaitu bentuk rumah yang atapnya berbentuk Limasan atau Kampung dan selalu memiliki teras depan yang terbuka. Diduga bentuk rumah ini dipengaruhi oleh bentuk rumah yang ada di daerah Surabaya, yang secara geografis berdekatan dengan Madura.

2. Pengaruh Arsitektur Cina

Orang Cina di Sumenep selain berusaha pada bidang perdagangan juga banyak yang tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas pada seni bangunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk Naga dan Burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan keagungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang sangat kuat.

Gambar 5. Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam

Gambar 6. Tampak Timur Dalem Kraton yang dindingnya tanpa teritis, mirip dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda). Disini terlihat Akulturasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun

Gambar 7. Tampak Depan Bangunan Pendopo. Nampak lantainya yang amat rendah. Atapnya sama dengan atap rumah Jawa tipe Limasan Sinom dengan bubungannya diselesaikan mencuat ke atas mirip hiasan bubungan Klenteng Cina

3. Pengaruh Arsitektur Belanda (Barat)

Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda cukup lama (kurang lebih 3 abad) di Sumenep, dengan demikian masuklah (terjadi komunikasi antara budaya) pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal kaum bangsawannya. Bangunan ini mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk ele-men bangunan seperti kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain. Wujud alkuturasi budaya asing yang masuk ke Kraton Sumenep dapat dilihat juga pada lambang Kraton Sumenep, yakni pengaruh Belanda dengan mahkota yang lengkap dengan tanda salip di atasnya, Cina dengan lambang naga yang dapat terbang, serta Madura (Islam) dengan lambang kuda terbang, Merupakan suatu hal yang unik lambang Kraton dari Sultan (Islam) namun terdapat lambang salib (Katolik) di bagian puncaknya.

Gambar 8. Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina

Gambar 9. Lambang Kraton Sumenep terdiri dari Mahkota Eropa (Kroons), kuda terbang, naga terbang, dan untaian bunga mawar

Gambar 10. Interior dari Pringgitan (Teras Depan Dalem). Pilar-pilarnya bergaya Majapahit. Tinggi pintu ke ruang sekretariat Sultan kurang dari 3m, mirip dengan ukuran untuk orang Belanda. Lantai tegel sedang langit-langit dari papan jati

Keemasan Raja

Berdiri megah melintasi perubahan jaman. Guratan sejarah sebuah kejayaan yang tersisa di ujung Timur Pulau Garam
Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang has menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya. Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat. Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah. Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja. Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau. Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan. Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. Lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460). Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya. Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi. Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang. Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum. Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep. Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang

Taman Sare dan Labang Mesem

Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di bagian selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta kencana kerajaan. Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain seperti kursi pertemuan, tempat tidur raja, kursi pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa. Konon bantuan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman adalah mengalihbahasakan sebuah prasasti dengan tulisan Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu bernama My Lord, namun karena lidah orang Madura saat itu kurang bisa melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dikenal dengan nama Melor,” . Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya melakukan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu sebagai pusat rencana gerakan perlawanan. Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak tepat memiliki kantor raja karena statusnya hanya Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, beliau menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu adalah Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), karena seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen. Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, karena itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, bila raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi isyarat dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan isyarat tertentu. Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut cerita beberapa orang, air di Taman Sare ini juga mempunyai khasiat menjadikan orang awet muda.



LABANG MESEM

Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi tentang asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam menerima tamu. Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut. Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem. Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan. Masih banyak kekayaan sejarah yang bisa dinikmati di keraton ini. Tak cukup tulisan dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling tepat untuk memuaskan penasaran hati, hanya dengan datang dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.

ShoutBox


Your Name
Your Email Address
Subject
Message
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Search